Beranda | Artikel
Tauhid dalam Islam
Sabtu, 19 November 2016

Bismillah.

Islam adalah agama yang sempurna. Tidak hanya mengatur hubungan antara sesama manusia, bahkan ia mengatur tata-cara yang benar dalam beribadah kepada Rabbnya. Karena itulah Allah mengutus para rasul untuk mengajarkan tauhid dan amal salih kepada umatnya.

Tauhid dan amal salih ini tergabung dalam iman. Sebagaimana telah dijelaskan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa iman itu terdiri dari tujuh puluh lebih cabang, yang tertinggi adalah ucapan laa ilaha illallah -ini mengatur hubungan hamba dengan Rabbnya- dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan -ini mengatur hubungan manusia dengan sesama- dan rasa malu merupakan cabang keimanan; yang ini mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri dan manusia di sekelilingnya, bahkan dengan Rabbnya. 

Tauhid itu sendiri merupakan bentuk keadilan yang paling tinggi dan paling utama. Sebab dalam tauhid seorang hamba tidak boleh menujukan ibadah kepada siapa pun kecuali kepada Rabb yang telah menciptakan dirinya; yaitu Allah ta’ala semata. Seperti disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Hak Allah atas hamba adalah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Aqidah tauhid tidak bisa dilepaskan dari jati diri penciptaan manusia. Sebab manusia beserta semua makhluk yang ada ini merupakan ciptaan Allah. Karena hanya Allah pencipta dan pemelihara serta pengatur alam semesta, maka tidak ada yang berhak disembah kecuali Dia. Inilah yang terkandung dalam ayat (yang artinya), “Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.” Dan juga firman-Nya (yang artinya), “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian…” (al-Baqarah : 21). Inilah keadilan terbesar yang wajib ditegakkan sebelum keadilan yang lainnya. Karena itulah para nabi bersepakat untuk menyerukan dakwah tauhid ini kepada umatnya. Karena tauhid adalah asas perbaikan umat dan pondasi kebahagiaan insan di dunia dan di akhirat.

Tidak kita pungkiri bahwa banyak orang bisa berbuat baik kepada sesama dalam bentuk bantuan fisik, kepedulian terhadap kondisi perekonomian dan lain sebagainya. Akan tetapi apabila ini semuanya tidak dibangun di atas aqidah yang lurus maka hanya akan menjadi sia-sia di akhirat sana. Tentu kita tidak menginginkan hal itu menimpa diri kita. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Kami hadapi segala amal yang dahulu mereka kerjakan lalu Kami jadikan ia bagaikan debu-debu yang beterbangan.” (al-Furqan : 23)

Benar, Allah memang tidak butuh segala pengorbanan dan ibadah kita. Sebab pengorbanan dan ibadah kita itu sesungguhnya hanya akan kembali manfaatnya kepada diri kita sendiri. Ketika kita mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan sesembahan selain-Nya maka sesungguhnya kita sedang menyeru mereka menuju jalan kebahagiaan dan keselamatan yang hakiki dan abadi. Bukan sekedar kesenangan semu atau kebahagiaan sementara. Untuk mengajak manusia kepada tauhid memang banyak rintangan dan hambatan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Surga diliputi hal-hal yang tidak menyenangkan, sedangkan neraka diliputi hal-hal yang disukai hawa nafsu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Di sinilah dibutuhkan keikhlasan, kejujuran dan keteguhan dalam menegakkan dakwah tauhid di tengah berbagai gelombang fitnah dan kerusakan yang menimpa manusia. Kalau bukan karena pertolongan dan bantuan dari Allah tidak akan ada orang yang sanggup tegar berjalan di atas jalan dakwah ini. Kepada Allah semata kita memohon taufik dan pertolongan.


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/tauhid-dalam-islam/